Read Me...!!!

Selamat Datang Bagi Pengunjung Blog Kita Bersama, Semoga Apa Yang Anda Baca Bermafaat Dan Jangan Lupa untuk Menjadi Follower dan Kenalan Dengan ADMIN Blog Ini yaaa...!!! ^_^

Sunday, December 11, 2011

Contoh Features

Kejamnya Dunia
Kehidupan masyarakat daerah pinggiran
kadang terabaikan oleh hiruk pikuk kota besar.
Tak peduli siapa dan bagaimana keadaannya.
Suara tangis memilukan terdengar jelas
dari rumah di ujung gang Turisari.
Beberapa orang datang dengan baskom
berisikan beras ditangan mereka.



Sebuah musibah telah terjadi di desa itu 10 Oktober 1990, tembok besar yang semula kokoh memisahkan sebuah rumah dan jalan setapak kini telah menjadi puing tak berharga. Tembok itu runtuh bersamaan dengan rumah yang menempel padanya akibat kebakaran, ambruk menerjang 9 bocah yang baru pulang dari sekolah dasar. 1 anak mengalami luka parah sedangkan ke8 lainnya tak terselamatkan. Fazril(12) satu satunya anak yang selamat langsung dilarikan ke puskesmas, sedangkan ke8 anak lainnya bibopong oleh orang tua mereka ke rumah masing-masing karena telah meregang nyawa.
Anisa(12), siswi kelas 6 SDN Sepanjang Tani. Salah satu korban runtuhnya tembok. Ia adalah satu-satunya anak dari keluarga yang berkategori miskin anak dari seorang tukang becak dan penjual nasi pecel keliling. Anak ke5 dari 7 bersaudara. Ia tertimpa tembok ketika pulang dari sekolahnya. Sedangkan ayahnya, Pak Fikri menyaksikan peristiwa tersebut dengan mata kepalanya sendiri, ia tak menyangka kalau putri tercintanya tertimpa musibah itu dan tewas seketika.
Pak Fikri(60), pria kelahiran desa Sepanjang-Sidoarjo, seorang tukang becak di desa Turisari. Pada usianya yang sudah terbilang senja masih tetap menekuni pekerjaannya sebagai penarik becak meskipun pendapatan sehari-harinya kurang mencukupi, tapi dengan semangat dan tekadnya untuk tetap menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ia dan istrinya, Bu Sutari(51) berjuang keras. Dengan bekerja sebagai penjual nasi pecel.
Dengan penghasilan yang tidak menentu setiap harinya, suami istri tersebut mengalami berbagai kesusahan dalam hidupnya, untuk makan sehari hari, membayar uang SPP dari ke7 anaknya, apalagi dengan ditambah musibah kematian putri ke5 nya. Padahal sudah hampir 6 hari Pak Fikri belum jua mendapat penumpang yang sudi menaiki becak usangnya. Sehingga ia terpaksa meminjam uang dari salah seorang temannya untuk memenuhi kebutuhan hariannya.
Lengkap sudah penderitaannya, disaat ia benar-benar membutuhkan uang untuk biaya SPP anak-anaknya, pemakaman putrinya, temannya pun menagih sejumlah uang yang pernah dipinjamkan kepadanya.
Tak sepeserpun uang yang ia miliki kini, kebutuhan yang semestinya didahulukan, semua terbengkalai, tidak ada yang mau bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada anaknya beserta ke8 anak lainnya. Sehingga ia terpaksa menunda proses pemakaman putrinya sehari karena tuntutan biaya. Para tetangganya berusaha membantu dengan mengumpulkan uang sumbangan, tetapi apa daya, mereka juga orang miskin. Maka dana yang terkumpul tidak seberapa.


“Jaman sekarang mana ada yang gratis” hal tersebut telah menjadi patokan gaya kehidupan masa kini, semua pihak menuntut kesejahteraan pribadi dengan mengesampingkan siapa dan apapun disekitarnya. Yang mampu semakin bertindak merebut segala keinginannya dan begitu pula sebaliknya. Tidak ada tindakan lebih lanjut yang mengutamakan kesejahteraan bersama. Memberikan keadilan secara merata tanpa pamrih. Pemerintah daerah juga kurang tanggap menyikapi sebuah persoalan. Entah apa yang dipikirkan, sehingga uang tunjangan untuk keluarga para korban beru diserahkan sebulan setelah kejadian. Lalu, Kemana saja mereka ketika musibah itu terjadi? Apa yang mereka pikirkan di saat keluarga Pak Fikri dan 8 keluarga lainnya pontang panting bingung mencari bantuan? Inikah bentuk pelayanan yang terbaik bagi masyarakat seperti janji-janji yang mereka dengungkan ketika kampanye? Kapan negara ini akan bangkit dari keterpurukan apabila semua anggota parlemen bersikap sama?

2 comments: